Add caption |
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) telah dilaksanakan di Indonesia
sejak tahun 1985. Pada saat itu pimpinan puskesmas maupun pemegang program di
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
belum mempunyai alat pantau yang dapat memberikan data yang cepat sehingga
pimpinan dapat memberikan respon atau tindakan yang cepat dalam wilayah
kerjanya. PWS dimulai dengan program Imunisasi yang dalam perjalanannya, berkembang
menjadi PWS-PWS lain seperti PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) dan PWS Gizi.
Pelaksanaan PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan
tercapainya Universal Child Immunization (UCI) di Indonesia pada tahun
1990. Dengan dicapainya cakupan program imunisasi, terjadi penurunan AKB yang signifikan.
Namun pelaksanaan PWS dengan indikator Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak
secara cepat dapat menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) secara bermakna walaupun
cakupan pelayanan KIA meningkat, karena adanya faktor-faktor lain sebagai
penyebab kematian ibu (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dsb). Dengan
demikian maka PWS KIA perlu dikembangkan dengan memperbaiki mutu data, analisis
dan penelusuran data.
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka
Kematian Neonatus (AKN), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan
beberapa indikator status kesehatan masyarakat. Dewasa ini AKI dan AKB di
Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI 228
per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1.000 kelahiran hidup, AKN 19 per 1.000
kelahiran hidup, AKABA 44 per 1.000 kelahiran hidup.
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 adalah 225.642.000 jiwa dengan CBR
19,1 maka terdapat 4.287.198 bayi lahir hidup. Dengan AKI 228/100.000 KH
berarti ada 9.774 ibu meninggal per tahun atau 1 ibu meninggal tiap jam oleh
sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Besaran kematian
Neonatal, Bayi dan Balita jauh lebih tinggi, dengan AKN 19/1.000 KH, AKB 34/1.000
KH dan AKABA 44/1.000 KH berarti ada 9 Neonatal, 17 bayi dan 22 Balita
meninggal tiap jam.
Berdasarkan kesepakatan global (Millenium Development Goals/MDGs, 2000) pada tahun
2015 diharapkan Angka Kematian Ibu menurun sebesar tiga-perempatnya dalam kurun
waktu 1990-2015 dan Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita menurun
sebesar dua-pertiga dalam kurun waktu 1990-2015. Berdasarkan hal itu Indonesia
mempunyai komitmen untuk menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi 102/100.000 KH,
Angka Kematian Bayi dari 68 menjadi 23/1.000 KH, dan Angka Kematian Balita 97 menjadi 32/1.000 KH
pada tahun 2015.
Penyebab langsung kematian Ibu sebesar 90% terjadi pada saat
persalinan dan segera setelah persalinan (SKRT 2001). Penyebab langsung
kematian Ibu adalah perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%).
Penyebab tidak langsung kematian Ibu antara lain Kurang Energi Kronis/KEK pada kehamilan (37%) dan anemia
pada kehamilan (40%). Kejadian anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan
risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia. Sedangkan
berdasarkan laporan rutin PWS tahun 2007, penyebab langsung kematian ibu adalah
perdarahan (39%), eklampsia (20%), infeksi (7%) dan lain-lain (33%).
Menurut RISKESDAS 2007,
penyebab kematian neonatal 0 – 6 hari adalah gangguan pernafasan (37%), prematuritas
(34%), sepsis (12%), hipotermi (7%), kelainan darah/ikterus (6%), postmatur
(3%) dan kelainan kongenital (1%). Penyebab kematian neonatal 7 – 28 hari
adalah sepsis (20,5%), kelainan kongenital (19%), pneumonia (17%), Respiratori Distress Syndrome/RDS (14%),
prematuritas (14%), ikterus (3%), cedera lahir (3%), tetanus (3%), defisiensi
nutrisi (3%) dan Suddenly Infant Death Syndrome/SIDS
(3%). Penyebab kematian bayi (29 hari – 1 tahun) adalah diare (42%), pneumonia
(24%), meningitis/ensefalitis (9%), kelainan saluran cerna (7%), kelainan
jantung kongenital dan hidrosefalus (6%), sepsis (4%), tetanus (3%) dan
lain-lain (5%). Penyebab kematian balita (1 – 4 tahun) adalah diare (25,2%), pneumonia
(15,5%), Necrotizing Enterocolitis E.Coli/NEC
(10,7%), meningitis/ensefalitis (8,8%), DBD (6,8%), campak (5,8%), tenggelam
(4,9%) dan lain-lain (9,7%).
Upaya untuk mempercepat penurunan AKI telah dimulai sejak akhir
tahun 1980-an melalui program Safe
Motherhood Initiative yang mendapat perhatian besar dan dukungan
dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Pada akhir tahun 1990-an
secara konseptual telah diperkenalkan lagi upaya untuk menajamkan strategi dan
intervensi dalam menurunkan AKI melalui Making
Pregnancy Safer (MPS) yang dicanangkan oleh pemerintah pada
tahun 2000. Sejak tahun 1985 pemerintah merancang Child Survival (CS) untuk penurunan AKB. Kedua
Strategi tersebut diatas telah sejalan dengan Grand Strategi DEPKES tahun 2004.
Rencana Strategi Making Pregnancy Safer
(MPS) terdiri dari 3 pesan kunci dan 4 strategi.
Tiga pesan kunci MPS adalah :
1. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih.
2. Setiap komplikasi obsetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat.
3. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap upaya pencegahan kehamilan
yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.
Empat strategi MPS adalah :
1. Peningkatan kualitas dan
akses pelayanan kesehatan Ibu dan Bayi dan Balita di tingkat dasar dan rujukan.
2. Membangun kemitraan yang
efektif.
3. Mendorong pemberdayaan
perempuan, keluarga dan masyarakat.
4. Meningkatkan Sistem
Surveilans, Pembiayaan, Monitoring dan informasi KIA.
Rencana
Strategi Child Survival (CS) terdiri dari 3 pesan
kunci dan 4 strategi.
Tiga pesan kunci CS adalah:
1. Setiap bayi dan balita memperoleh pelayanan kesehatan dasar paripurna.
2. Setiap bayi dan balita sakit ditangani secara adekuat.
3.
Setiap bayi dan balita tumbuh dan berkembang secara optimal.
Empat strategi CS adalah:
1.
Peningkatan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu, bayi baru
lahir dan balita yang berkualitas berdasarkan bukti ilmiah
2. Membangun kemitraan yang
efektif melalui kerjasama lintas program, lintas sektor dan mitra lainnya dalam
melakukan advokasi untuk memaksimalkan sumber daya yang tersedia serta
memantapkan koordinasi perencanaan kegiatan MPS dan child survival.
3.
Mendorong pemberdayaan wanita dan keluarga melalui kegiatan peningkatan
pengetahuan untuk menjamin perilaku yang menunjang kesehatan ibu, bayi baru
lahir dan balita serta pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tersedia.
4.
Mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyediaan dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan ibu, bayi baru lahir dan balita.
Sehubungan dengan penerapan sistim desentralisasi dan
memperhatikan PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan PP 41/2007
tentang Struktur Organisasi Pemerintah di Daerah, maka pelaksanaan strategi MPS di daerahpun diharapkan dapat lebih
terarah dan sesuai dengan permasalahan setempat. Dengan adanya variasi antar
daerah dalam hal demografi dan geografi maka kegiatan dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) perlu
disesuaikan.
Agar pelaksanaan program KIA dapat berjalan lancar, aspek
peningkatan mutu pelayanan program KIA tetap diharapkan menjadi kegiatan prioritas
ditingkat Kabupaten/Kota. Peningkatan mutu program KIA juga dinilai dari besarnya
cakupan program di masing-masing wilayah kerja. Untuk itu, besarnya cakupan
pelayanan KIA di suatu wilayah kerja perlu dipantau secara terus menerus, agar
diperoleh gambaran yang jelas mengenai kelompok mana dalam wilayah kerja
tersebut yang paling rawan. Dengan diketahuinya lokasi rawan kesehatan ibu dan
anak, maka wilayah kerja tersebut dapat lebih diperhatikan dan dicarikan
pemecahan masalahnya. Untuk memantau cakupan pelayanan KIA tersebut
dikembangkan sistem Pemantauan Wilayah
Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA).
B.
Pengertian
Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) adalah alat manajemen
untuk melakukan pemantauan program KIA di suatu wilayah kerja secara terus
menerus, agar dapat dilakukan tindak lanjut yang cepat dan tepat. Program KIA
yang dimaksud meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu dengan
komplikasi kebidanan, keluarga berencana, bayi baru lahir, bayi baru lahir
dengan komplikasi, bayi, dan balita. Kegiatan PWS KIA terdiri dari pengumpulan,
pengolahan, analisis dan interpretasi data serta penyebarluasan informasi ke
penyelenggara program dan pihak/instansi terkait untuk tindak lanjut.
Definisi dan kegiatan
PWS tersebut sama dengan definisi Surveilens. Menurut WHO, Surveilens adalah suatu
kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan,
menganalisis dan menginterpretasikan data yang untuk selanjutnya dijadikan landasan
yang esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan surveilens dalam kesehatan
ibu dan anak adalah dengan melaksanakan PWS KIA.
Dengan PWS KIA
diharapkan cakupan pelayanan dapat ditingkatkan dengan menjangkau seluruh
sasaran di suatu wilayah kerja. Dengan terjangkaunya seluruh sasaran maka
diharapkan seluruh kasus dengan faktor risiko atau komplikasi dapat ditemukan
sedini mungkin agar dapat memperoleh penanganan yang memadai.
Penyajian PWS KIA juga
dapat dipakai sebagai alat advokasi, informasi dan komunikasi kepada sektor
terkait, khususnya aparat setempat yang berperan dalam pendataan dan
penggerakan sasaran. Dengan demikian PWS KIA dapat digunakan untuk memecahkan
masalah teknis dan non teknis. Pelaksanaan PWS KIA akan lebih bermakna bila
ditindaklanjuti dengan upaya perbaikan dalam pelaksanaan pelayanan KIA, intensifikasi
manajemen program, penggerakan sasaran dan sumber daya yang diperlukan dalam
rangka meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan KIA. Hasil analisis PWS KIA di
tingkat puskesmas dan kabupaten/kota dapat digunakan untuk menentukan puskesmas
dan desa/kelurahan yang rawan. Demikian pula hasil analisis PWS KIA di tingkat
propinsi dapat digunakan untuk menentukan kabupaten/kota yang rawan.
C. Tujuan
Tujuan umum :
Terpantaunya
cakupan dan mutu pelayanan KIA secara terus-menerus di setiap wilayah kerja.
Tujuan Khusus :
1.
Memantau
pelayanan KIA secara Individu melalui Kohort
2.
Memantau kemajuan pelayanan KIA dan cakupan indikator KIA
secara teratur (bulanan) dan terus menerus.
3. Menilai kesenjangan pelayanan KIA terhadap standar pelayanan KIA.
4. Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator KIA terhadap target yang
ditetapkan.
5. Menentukan sasaran individu dan wilayah prioritas yang akan ditangani
secara intensif berdasarkan besarnya kesenjangan.
6. Merencanakan tindak lanjut dengan menggunakan sumber daya yang tersedia dan
yang potensial untuk digunakan.
7. Meningkatkan peran aparat setempat dalam penggerakan sasaran dan mobilisasi
sumber daya.
8. Meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan
KIA.
BAB
II
PRINSIP
PENGELOLAAN PROGRAM KIA
Pengelolaan
program KIA bertujuan memantapkan dan meningkatkan jangkauan serta mutu
pelayanan KIA secara efektif dan efisien. Pemantapan pelayanan KIA dewasa ini
diutamakan pada kegiatan pokok sebagai berikut :
1. Peningkatan pelayanan antenatal sesuai standar bagi seluruh ibu hamil
di semua fasilitas kesehatan.
2.
Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan kompeten
diarahkan ke fasilitas kesehatan.
3.
Peningkatan pelayanan bagi seluruh ibu nifas sesuai standar di
semua fasilitas kesehatan.
4.
Peningkatan pelayanan bagi seluruh neonatus sesuai standar di
semua fasilitas kesehatan.
5.
Peningkatan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan
dan neonatus oleh tenaga kesehatan maupun masyarakat.
6. Peningkatan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatus secara adekuat dan
pengamatan secara terus-menerus oleh tenaga kesehatan.
7.
Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh bayi sesuai standar
di semua fasilitas kesehatan.
8.
Peningkatan pelayanan kesehatan bagi seluruh anak balita sesuai
standar di semua fasilitas kesehatan.
9. Peningkatan pelayanan KB sesuai standar.
A. Pelayanan Antenatal
Pelayanan antenatal
adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan untuk ibu selama masa
kehamilannya, dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang
ditetapkan dalam Standar Pelayanan Kebidanan (SPK). Pelayanan
antenatal sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan
kebidanan), pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus, serta intervensi umum
dan khusus (sesuai risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan). Dalam penerapannya terdiri
atas:
1.
Timbang berat badan dan ukur tinggi badan.
2. Ukur tekanan darah.
3.
Nilai Status Gizi (ukur lingkar lengan atas).
4. Ukur tinggi fundus uteri.
5.
Tentukan presentasi janin dan denyut jantung
janin (DJJ).
6.
Skrining status imunisasi Tetanus dan berikan
imunisasi Tetanus Toksoid (TT) bila
diperlukan.
7.
Pemberian Tablet zat besi minimal 90 tablet selama kehamilan.
8.
Test laboratorium (rutin dan khusus).
9.
Tatalaksana kasus
10.
Temu wicara (konseling), termasuk Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan.
Pemeriksaan laboratorium
rutin mencakup pemeriksaan golongan darah, hemoglobin, protein urine dan gula
darah puasa. Pemeriksaan khusus dilakukan di daerah prevalensi tinggi dan atau
kelompok ber-risiko, pemeriksaan yang dilakukan adalah hepatitis B, HIV, Sifilis,
malaria, tuberkulosis, kecacingan dan thalasemia.
Dengan demikian maka
secara operasional, pelayanan antenatal disebut lengkap apabila dilakukan oleh
tenaga kesehatan serta memenuhi standar tersebut. Ditetapkan pula bahwa
frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4 kali selama kehamilan, dengan ketentuan
waktu pemberian pelayanan yang dianjurkan sebagai berikut :
-
Minimal
1 kali pada triwulan pertama.
-
Minimal 1 kali pada triwulan kedua.
-
Minimal
2 kali pada triwulan ketiga.
Standar waktu pelayanan antenatal tersebut dianjurkan untuk
menjamin perlindungan kepada ibu hamil, berupa deteksi dini faktor risiko,
pencegahan dan penanganan komplikasi.
Tenaga kesehatan
yang berkompeten memberikan pelayanan antenatal kepada Ibu hamil adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan
dan perawat.
B. Pertolongan Persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah pelayanan
persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten. Pada
kenyataan di lapangan, masih terdapat penolong persalinan yang bukan tenaga
kesehatan dan dilakukan di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Oleh karena itu
secara bertahap seluruh persalinan akan ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten
dan diarahkan ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Pada prinsipnya,
penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Pencegahan infeksi
2. Metode pertolongan
persalinan yang sesuai standar.
3. Merujuk kasus yang tidak
dapat ditangani ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi.
4.
Melaksanakan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
5.
Memberikan Injeksi Vit K 1 dan salep mata pada
bayi baru lahir.
Tenaga kesehatan yang berkompeten memberikan
pelayanan pertolongan persalinan adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter dan
bidan.
C. Pelayanan Kesehatan Ibu Nifas
Pelayanan kesehatan ibu nifas
adalah pelayanan kesehatan sesuai standar pada ibu mulai 6 jam sampai 42 hari
pasca bersalin oleh tenaga kesehatan. Untuk deteksi dini komplikasi pada ibu
nifas diperlukan pemantauan pemeriksaan terhadap ibu nifas dengan melakukan
kunjungan nifas minimal sebanyak 3 kali dengan ketentuan waktu :
- Kunjungan nifas pertama pada masa 6 jam sampai dengan 3 hari setelah persalinan.
- Kunjungan nifas ke dua dalam waktu 2 minggu setelah persalinan (8 – 14 hari).
- Kunjungan nifas ke tiga dalam waktu 6 minggu setelah persalinan (36 – 42 hari).
Pelayanan yang diberikan adalah :
1.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, respirasi
dan suhu.
2.
Pemeriksaan tinggi fundus uteri (involusi uterus).
3.
Pemeriksaan lokhia dan pengeluaran per
vaginam lainnya.
4.
Pemeriksaan payudara dan anjuran ASI
eksklusif 6 bulan.
5.
Pemberian kapsul Vitamin A 200.000 IU
sebanyak dua kali , pertama segera setelah melahirkan, kedua diberikan setelah
24 jam pemberian kapsul Vitamin A pertama.
6. Pelayanan KB pasca salin
Tenaga kesehatan
yang dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu nifas adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan
dan perawat.
D. Pelayanan Kesehatan Neonatus
Pelayanan kesehatan neonatus adalah pelayanan kesehatan sesuai
standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonatus
sedikitnya 3 kali, selama periode 0 sampai dengan 28 hari setelah lahir, baik
di fasilitas kesehatan maupun melalui kunjungan rumah.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan neonatus :
1.
Kunjungan Neonatal ke-1 (KN 1) dilakukan pada kurun waktu 6 – 48
Jam setelah lahir.
2.
Kunjungan Neonatal ke-2
(KN 2) dilakukan pada kurun waktu hari ke 3 sampai dengan hari ke 7 setelah
lahir.
3.
Kunjungan Neonatal ke-3
(KN 3) dilakukan pada kurun waktu hari ke 8 sampai dengan hari ke 28 setelah
lahir.
Kunjungan neonatal bertujuan
untuk meningkatkan akses neonatus terhadap
pelayanan kesehatan dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan/masalah
kesehatan pada neonatus. Risiko terbesar kematian neonatus terjadi pada 24 jam
pertama kehidupan, minggu pertama dan bulan pertama kehidupannya. Sehingga jika
bayi lahir di fasilitas kesehatan sangat dianjurkan untuk tetap tinggal di
fasilitas kesehatan selama 24 jam pertama.
Pelayanan
Kesehatan Neonatal dasar dilakukan secara komprehensif dengan melakukan pemeriksaan dan perawatan Bayi baru Lahir
dan pemeriksaan menggunakan pendekatan Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM) untuk memastikan bayi dalam keadaan
sehat, yang meliputi :
1.
Pemeriksaan dan Perawatan Bayi Baru Lahir
·
Perawatan Tali pusat
·
Melaksanakan ASI Eksklusif
·
Memastikan bayi telah diberi Injeksi Vitamin
K1
·
Memastikan bayi telah diberi Salep Mata Antibiotik
·
Pemberian Imunisasi Hepatitis B-0
2. Pemeriksaan menggunakan
pendekatan MTBM
·
Pemeriksaan tanda bahaya seperti kemungkinan infeksi bakteri,
ikterus, diare, berat badan rendah dan Masalah pemberian ASI.
·
Pemberian Imunisasi Hepatitis B0 bila belum
diberikan pada waktu perawatan bayi baru lahir
·
Konseling terhadap ibu dan keluarga untuk
memberikan ASI eksklusif, pencegahan hipotermi dan melaksanakan perawatan bayi
baru lahir di rumah dengan menggunakan Buku KIA.
·
Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan
kesehatan neonatus adalah : dokter spesialis anak, dokter, bidan dan perawat.
E.
Deteksi
dini faktor risiko dan komplikasi kebidanan dan neonatus oleh tenaga kesehatan
maupun masyarakat.
Deteksi dini kehamilan
dengan faktor risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil
yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan. Kehamilan merupakan
proses reproduksi yang normal , tetapi tetap mempunyai risiko untuk terjadinya
komplikasi. Oleh karenanya deteksi dini oleh tenaga kesehatan dan masyarakat
tentang adanya faktor risiko dan komplikasi, serta penanganan yang adekuat
sedini mungkin, merupakan kunci keberhasilan dalam penurunan angka kematian ibu
dan bayi yang dilahirkannya.
Faktor risiko pada ibu
hamil adalah :
1.
Primigravida kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
2. Anak lebih dari 4.
3. Jarak persalinan terakhir
dan kehamilan sekarang kurang dari 2 tahun.
4.
Kurang Energi Kronis
(KEK) dengan lingkar lengan atas kurang dari 23,5 cm,
atau penambahan berat badan < 9 kg selama masa kehamilan.
5. Anemia dengan dari
Hemoglobin < 11 g/dl.
6. Tinggi badan kurang dari
145 cm, atau dengan kelainan bentuk panggul dan tulang belakang
7. Riwayat hipertensi pada
kehamilan sebelumnya atau sebelum kehamilan ini.
8. Sedang/pernah menderita
penyakit kronis, antara lain : tuberkulosis, kelainan jantung-ginjal-hati,
psikosis, kelainan endokrin (Diabetes Mellitus, Sistemik Lupus
Eritematosus, dll), tumor dan keganasan
9. Riwayat kehamilan buruk:
keguguran berulang, kehamilan ektopik terganggu, mola hidatidosa, ketuban pecah
dini, bayi dengan cacat kongenital
10. Riwayat persalinan dengan
komplikasi : persalinan dengan seksio sesarea, ekstraksivakum/ forseps.
11. Riwayat nifas dengan
komplikasi : perdarahan paska persalinan, Infeksi masa nifas, psikosis post
partum (post partum blues).
12. Riwayat keluarga menderita penyakit kencing manis, hipertensi dan riwayat
cacat kongenital.
13. Kelainan jumlah janin : kehamilan ganda, janin dampit, monster.
14. Kelainan besar janin : pertumbuhan janin terhambat, Janin besar.
15. Kelainan letak dan posisi janin: lintang/oblique, sungsang pada usia
kehamilan lebih dari 32 minggu.
Catatan : penambahan berat badan ibu hamil yang
normal adalah 9 – 12 kg selama masa kehamilan
Komplikasi pada ibu
hamil, bersalin dan nifas antara lain :
1. Ketuban pecah dini.
2. Perdarahan pervaginam :
·
Ante Partum : keguguran, plasenta previa, solusio plasenta
·
Intra Partum : robekan
jalan lahir
·
Post Partum : atonia uteri, retensio plasenta, plasenta
inkarserata, kelainan pembekuan darah, subinvolusi uteri
3. Hipertensi dalam Kehamilan
(HDK): Tekanan darah tinggi (sistolik > 140 mmHg, diastolik > 90 mmHg),
dengan atau tanpa edema pre-tibial.
4. Ancaman persalinan
prematur.
5.
Infeksi berat dalam kehamilan : demam berdarah, tifus
abdominalis, Sepsis.
6.
Distosia: Persalinan macet, persalinan tak
maju.
7.
Infeksi masa nifas.
Sebagian besar kematian ibu dapat dicegah apabila mendapat
penanganan yang adekuat di fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor waktu dan
transportasi merupakan hal yang sangat menentukan dalam merujuk kasus risiko
tinggi. Oleh karenanya Deteksi faktor risiko pada ibu baik oleh tenaga
kesehatan maupun masyarakat merupakan salah satu upaya penting dalam mencegah
kematian dan kesakitan ibu.
Faktor risiko pada neonatus adalah sama dengan
faktor risiko pada ibu hamil. Ibu hamil yang memiliki faktor risiko akan
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi pada neonatus. Deteksi dini untuk Komplikasi pada
Neonatus dengan melihat tanda-tanda atau gejala-gejala sebagai berikut :
1.
Tidak
Mau Minum/menyusu atau memuntahkan semua
2.
Riwayat
Kejang
3.
Bergerak
hanya jika dirangsang/Letargis
4.
Frekwensi Napas < = 30 X/menit dan >= 60x/menit
5.
Suhu
tubuh <= 35,5 C dan >= 37,5 C
6.
Tarikan dinding dada ke dalam yang sangat kuat
7.
Merintih
8.
Ada pustul Kulit
9.
Nanah
banyak di mata
10.
Pusar kemerahan meluas ke dinding perut.
11.
Mata cekung dan cubitan kulit perut kembali sangat lambat
12.
Timbul kuning dan atau tinja berwarna pucat
13.
Berat badan menurut umur rendah dan atau ada masalah
pemberian ASI
14.
BBLR
: Bayi Berat Lahir Rendah < 2500 gram
15.
Kelainan
Kongenital seperti ada celah di bibir dan langit-langit.
Komplikasi pada neonatus
antara lain :
1.
Prematuritas dan BBLR (bayi berat lahir
rendah < 2500 gr)
2. Asfiksia
3. Infeksi
Bakteri
4. Kejang
5. Ikterus
6. Diare
7. Hipotermia
8. Tetanus
neonatorum
9. Masalah
pemberian ASI
10. Trauma lahir, sindroma
gangguan pernapasan, kelainan kongenital, dll.
F. Penanganan Komplikasi Kebidanan
Penanganan komplikasi kebidanan adalah pelayanan kepada ibu dengan
komplikasi kebidanan untuk mendapat penanganan definitif sesuai standar oleh
tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan rujukan.
Diperkirakan sekitar 15-20 % ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan.
Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak selalu dapat diduga sebelumnya, oleh karenanya semua persalinan
harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar komplikasi kebidanan dapat segera
dideteksi dan ditangani.
Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan komplikasi
kebidanan maka diperlukan adanya fasilititas pelayanan kesehatan yang mampu
memberikan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi secara berjenjang mulai
dari bidan, puskesmas mampu PONED sampai rumah sakit PONEK 24 jam.
Pelayanan medis yang dapat dilakukan di Puskesmas mampu PONED
meliputi :
1. Pelayanan obstetri :
- Penanganan perdarahan pada kehamilan, persalinan dan nifas.
- Pencegahan dan penanganan Hipertensi dalam Kehamilan (pre-eklampsi dan eklampsi)
- Pencegahan dan penanganan infeksi.
- Penanganan partus lama/macet.
- Penanganan abortus.
- Stabilisasi komplikasi obstetrik untuk dirujuk dan transportasi rujukan.
2. Pelayanan neonatus
:
- Pencegahan dan penanganan asfiksia.
- Pencegahan dan penanganan hipotermia.
- Penanganan bayi berat lahir rendah (BBLR).
- Pencegahan dan penanganan infeksi neonatus, kejang neonatus, ikterus ringan–sedang .
- Pencegahan dan penanganan gangguan minum.
- Stabilisasi komplikasi neonatus untuk dirujuk dan transportasi rujukan.
G. Pelayanan
neonatus dengan komplikasi
Pelayanan Neonatus dengan komplikasi adalah penanganan neonatus
dengan penyakit dan kelainan yang dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan
kematian oleh dokter/bidan/perawat terlatih di polindes, puskesmas, puskesmas
PONED, rumah bersalin dan rumah sakit pemerintah/swasta.
Diperkirakan sekitar 15% dari bayi lahir
hidup akan mengalami komplikasi neonatal. Hari Pertama kelahiran bayi sangat penting, oleh karena banyak
perubahan yang terjadi pada bayi dalam menyesuaikan diri dari kehidupan di
dalam rahim kepada kehidupan di luar rahim. Bayi baru lahir yang mengalami
gejala sakit dapat cepat memburuk, sehingga bila tidak ditangani dengan adekuat
dapat terjadi kematian. Kematian bayi sebagian besar terjadi pada hari pertama,
minggu pertama kemudian bulan pertama kehidupannya.
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam peningkatan akses dan
kualitas penanganan komplikasi neonatus tersebut antara lain penyediaan
puskesmas mampu PONED dengan target setiap kabupaten/kota harus mempunyai
minimal 4 (empat) puskesmas mampu PONED.
Puskesmas PONED adalah puskesmas rawat inap yang memiliki
kemampuan serta fasilitas PONED siap 24 jam untuk memberikan pelayanan terhadap
ibu hamil, bersalin dan nifas serta kegawatdaruratan bayi baru lahir dengan
komplikasi baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat, bidan
di desa, Puskesmas dan melakukan rujukan ke RS/RS PONEK pada kasus yang tidak
mampu ditangani.
Untuk mendukung puskesmas mampu PONED ini, diharapkan RSU
Kabupaten/Kota mampu melaksanakan pelayanan obstetri dan neonatal emergensi
komprehensif (PONEK) yang siap selama 24 jam. Dalam PONEK, RSU harus mampu
melakukan pelayanan emergensi dasar dan pelayanan operasi seksio sesaria,
perawatan neonatus level II serta transfusi darah.
Dengan adanya puskesmas mampu PONED dan RS mampu PONEK maka kasus
– kasus komplikasi kebidanan dan neonatal dapat ditangani secara optimal
sehingga dapat mengurangi kematian ibu dan neonatus.
H. Pelayanan Kesehatan Bayi
Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar
yang diberikan oleh tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama
periode 29 hari sampai dengan 11 bulan setelah lahir.
Pelaksanaan pelayanan
kesehatan bayi :
1. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari
– 2 bulan.
2. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3 – 5
bulan.
3. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6 – 8
bulan.
4. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9 – 11
bulan.
Kunjungan bayi bertujuan
untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan kesehatan dasar, mengetahui
sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat mendapat
pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan
pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulasi
tumbuh kembang. Dengan demikian hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan
terpenuhi. Pelayanan kesehatan tersebut
meliputi :
·
Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, Polio
1,2,3,4, DPT/HB 1,2,3, Campak) sebelum bayi berusia 1 tahun.
·
Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh
kembang bayi (SDIDTK).
·
Pemberian vitamin A 100.000 IU (6 - 11 bulan).
·
Konseling ASI eksklusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda – tanda sakit dan perawatan kesehatan
bayi di rumah menggunakan Buku KIA.
·
Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.
Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan
kesehatan bayi adalah : dokter spesialis anak, dokter, bidan dan perawat.
I. Pelayanan
kesehatan anak balita
Lima tahun pertama kehidupan, pertumbuhan mental dan
intelektual berkembang pesat. Masa
ini merupakan masa keemasan atau golden period dimana terbentuk dasar-dasar kemampuan keindraan, berfikir, berbicara serta pertumbuhan mental intelektual yang intensif dan
awal pertumbuhan moral. Pada masa ini
stimulasi sangat penting untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi organ tubuh dan
rangsangan pengembangan otak. Upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak usia dini menjadi sangat
penting agar dapat dikoreksi sedini mungkin dan atau mencegah gangguan ke arah yang lebih berat .
Bentuk pelaksanaan tumbuh kembang anak di lapangan
dilakukan dengan mengacu pada pedoman Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Tumbuh
Kembang Anak (SDIDTK) yang dilaksanakan
oleh tenaga kesehatan di puskesmas dan jajarannya seperti dokter, bidan perawat, ahli gizi, penyuluh
kesehatan masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya yang peduli dengan anak.
Kematian
bayi dan balita merupakan salah satu parameter derajat kesejahteraan suatu
negara. Sebagian besar penyebab kematian bayi
dan balita dapat dicegah dengan teknologi sederhana di
tingkat pelayanan kesehatan dasar, salah satunya adalah dengan menerapkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), di tingkat pelayanan kesehatan
dasar. Bank Dunia, 1993 melaporkan bahwa MTBS merupakan intervensi yang cost effective untuk mengatasi masalah
kematian balita yang disebabkan oleh Infeksi Pernapasan Akut (ISPA), diare,
campak, malaria, kurang gizi dan yang sering merupakan kombinasi dari keadaan
tersebut.
Sebagai
upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian balita, Departemen
Kesehatan RI bekerja sama dengan WHO telah mengembangkan paket pelatihan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang mulai dikembangkan di Indonesia
sejak tahun 1996 dan implementasinya dimulai 1997 dan saat ini telah mencakup
33 provinsi.
Pelayanan kesehatan anak balita meliputi pelayanan pada anak balita sakit
dan sehat. Pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sesuai standar yang
meliputi :
1. Pelayanan pemantauan pertumbuhan minimal 8 kali setahun yang tercatat dalam
Buku KIA/KMS. Pemantauan pertumbuhan
adalah pengukuran berat badan anak balita setiap bulan yang
tercatat pada Buku KIA/KMS. Bila berat badan tidak naik dalam 2 bulan
berturut-turut atau berat badan anak balita di bawah garis merah harus dirujuk
ke sarana pelayanan kesehatan.
2. Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) minimal 2 kali dalam setahun. Pelayanan SDIDTK meliputi pemantauan perkembangan motorik kasar, motorik
halus, bahasa, sosialisasi dan kemandirian minimal 2 kali pertahun (setiap 6
bulan). Pelayanan SDIDTK diberikan di dalam gedung (sarana pelayanan kesehatan)
maupun di luar gedung.
3. Pemberian Vitamin A dosis tinggi (200.000 IU), 2 kali dalam setahun.
4. Kepemilikan dan pemanfaatan buku KIA oleh setiap anak balita
5. Pelayanan anak balita sakit sesuai standar dengan menggunakan pendekatan
MTBS.
J. Pelayanan KB
Berkualitas
Pelayanan KB berkualitas
adalah pelayanan KB sesuai standar dengan menghormati hak individu dalam merencanakan
kehamilan sehingga diharapkan dapat berkontribusi dalam menurunkan angka
kematian Ibu dan menurunkan tingkat fertilitas (kesuburan) bagi pasangan yang
telah cukup memiliki anak (2 anak lebih baik) serta meningkatkan fertilitas
bagi pasangan yang ingin mempunyai anak.
Pelayanan KB bertujuan
untuk menunda (merencanakan) kehamilan. Bagi Pasangan Usia Subur yang ingin
menjarangkan dan/atau menghentikan kehamilan, dapat menggunakan metode
kontrasepsi yang meliputi :
·
KB alamiah (sistem kalender, metode amenore
laktasi, coitus interuptus).
·
Metode KB hormonal (pil, suntik, susuk).
·
Metode KB non-hormonal (kondom, AKDR/IUD,
vasektomi dan tubektomi).
Sampai saat ini di
Indonesia cakupan peserta KB aktif (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) mencapai
61,4% (SDKI 2007) dan angka ini merupakan pencapaian yang cukup tinggi diantara
negara-negara ASEAN. Namun demikian metode yang dipakai lebih banyak
menggunakan metode jangka pendek seperti pil dan suntik. Menurut data
SDKI 2007 akseptor KB yang menggunakan suntik sebesar 31,6%, pil 13,2 %, AKDR
4,8%, susuk 2,8%, tubektomi 3,1%, vasektomi 0,2% dan kondom 1,3%. Hal ini
terkait dengan tingginya angka putus pemakaian (DO) pada metode jangka pendek
sehingga perlu pemantauan yang terus menerus. Disamping itu pengelola program
KB perlu memfokuskan sasaran pada kategori PUS dengan “4 terlalu”
(terlalu muda, tua, sering dan banyak).
Untuk mempertahankan dan
meningkatkan cakupan peserta KB perlu diupayakan pengelolaan program yang berhubungan
dengan peningkatan aspek kualitas, teknis dan aspek manajerial pelayanan KB.
Dari aspek kualitas perlu diterapkan pelayanan yang sesuai standard dan variasi
pilihan metode KB, sedangkan dari segi teknis perlu dilakukan pelatihan klinis
dan non-klinis secara berkesinambungan. Selanjutnya aspek manajerial, pengelola
program KB perlu melakukan revitalisasi dalam segi analisis situasi program KB
dan sistem pencatatan dan pelaporan pelayanan KB.
Tenaga kesehatan yang dapat
memberikan pelayanan KB kepada masyarakat
adalah : dokter spesialis kebidanan, dokter, bidan dan perawat.
BAB III
INDIKATOR PEMANTAUAN
Indikator pemantauan
program KIA yang dipakai untuk PWS KIA meliputi indikator yang dapat
menggambarkan keadaan kegiatan pokok dalam program KIA, seperti yang diuraikan
dalam BAB II.
Sasaran yang digunakan
dalam PWS KIA berdasarkan kurun waktu 1 tahun dengan prinsip konsep wilayah
(misalnya: Untuk provinsi memakai sasaran provinsi, untuk kabupaten memakai
sasaran kabupaten).
1. Akses pelayanan antenatal (cakupan K1)
Adalah cakupan ibu hamil
yang pertama kali mendapat pelayanan antenatal oleh tenaga kesehatan di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Indikator akses ini
digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan antenatal serta kemampuan
program dalam menggerakkan masyarakat.
Rumus yang dipakai untuk
perhitungannya adalah :
|
Jumlah sasaran ibu hamil disuatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran ibu hamil
dalam 1 tahun dapat diperoleh melalui Proyeksi, dihitung berdasarkan
perkiraan jumlah ibu hamil dengan menggunakan rumus :
1,10
X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah penduduk
Angka kelahiran kasar (CBR) yang digunakan
adalah angka terakhir CBR kabupaten/kota yang diperoleh dari kantor perwakilan Badan
Pusat Statistik (BPS) di kabupaten/kota. Bila angka CBR kabupaten/kota tidak ada
maka dapat digunakan angka terakhir CBR propinsi. CBR propinsi dapat diperoleh
juga dari buku Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2007 – 2011
(Pusat Data Kesehatan Depkes RI, tahun 2007).
Contoh : untuk menghitung perkiraan jumlah ibu
hamil di desa/kelurahan X di kabupaten Y yang mempunyai penduduk sebanyak 2
.000 jiwa dan angka CBR terakhir kabupaten Y 27,0/1.000 penduduk, maka :
Jumlah ibu hamil = 1,10 X 0,027 x 2.000 = 59,4.
Jadi sasaran ibu hamil di desa/kelurahan X
adalah 59 orang.
2. Cakupan pelayanan ibu
hamil (cakupan K4)
Adalah cakupan ibu hamil yang telah memperoleh pelayanan antenatal
sesuai dengan standar, paling sedikit empat kali dengan distribusi waktu 1 kali
pada trimester ke-1, 1 kali pada trimester ke-2 dan 2 kali pada trimester ke-3 disuatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal secara
lengkap (memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang ditetapkan), yang
menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu wilayah, di samping
menggambarkan kemampuan manajemen ataupun kelangsungan program KIA.
Rumus yang dipergunakan adalah :
Jumlah ibu hamil yang
mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali sesuai standar
|
Jumlah sasaran ibu hamil disuatu
wilayah dalam 1 tahun
3.
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn)
Adalah cakupan ibu
bersalin yang mendapat pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi kebidanan, di suatu wilayah kerja dalam kurun waktu
tertentu.
Dengan indikator ini
dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan dan
ini menggambarkan kemampuan manajemen program KIA dalam pertolongan persalinan
sesuai standar.
Rumus yang digunakan
sebagai berikut :
Jumlah
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan kompeten disuatu wilayah
|
Jumlah sasaran ibu bersalin disuatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran ibu
bersalin dalam 1 tahun dihitung dengan menggunakan rumus :
1,05
X angka kelahiran kasar (CBR) X jumlah penduduk
Contoh : untuk menghitung perkiraan jumlah ibu
bersalin di desa/kelurahan X di kabupaten Y yang mempunyai penduduk sebanyak
2.000 penduduk dan angka CBR terakhir kabupaten Y 27,0/1.000 penduduk maka :
Jumlah
ibu bersalin = 1,05 X 0,027 x 2.000 = 56,7.
Jadi sasaran ibu bersalin di desa/kelurahan X
adalah 56 orang.
4. Cakupan pelayanan nifas oleh tenaga
kesehatan (KF3)
Adalah cakupan pelayanan
kepada ibu pada masa 6 jam sampai dengan 42 hari pasca bersalin sesuai standar
paling sedikit 3 kali dengan distribusi waktu 6 jam – 3 hari, 8 – 14 hari dan
36 – 42 hari setelah bersalin di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini
dapat diketahui cakupan pelayanan nifas secara lengkap (memenuhi standar pelayanan
dan menepati waktu yang ditetapkan), yang menggambarkan jangkauan dan kualitas
pelayanan kesehatan ibu nifas, di samping menggambarkan kemampuan manajemen
ataupun kelangsungan program KIA.
Rumus yang digunakan adalah
sebagai berikut :
Jumlah
ibu nifas yang telah memperoleh 3 kali pelayanan nifas sesuai standar oleh
|
Jumlah sasaran ibu nifas di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran ibu nifas sama dengan jumlah
sasaran ibu bersalin.
5.
Cakupan pelayanan neonatus pertama (KN 1)
Adalah cakupan neonatus
yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6 - 48 jam setelah lahir di suatu
wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini
dapat diketahui akses/jangkauan pelayanan kesehatan neonatal.
Rumus yang dipergunakan
adalah sebagai berikut :
Jumlah
neonatus yang mendapatkan pelayanan sesuai standar pada 6 – 48 jam
|
Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Jumlah sasaran bayi bisa
didapatkan dari perhitungan berdasarkan jumlah perkiraan (angka proyeksi) bayi dalam
satu wilayah tertentu dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Jumlah sasaran bayi = Crude Birth Rate x jumlah
penduduk
Contoh : untuk menghitung jumlah perkiraan bayi di suatu desa Z
di Kota Y Propinsi X yang mempunyai penduduk sebanyak
1.500 jiwa dan angka CBR terakhir Kota
Y 24,8/1.000 penduduk, maka :
Jumlah bayi = 0,0248 x 1500 = 37,2.
Jadi sasaran bayi di desa Z adalah 37 bayi.
6.
Cakupan pelayanan kesehatan neonatus 0 – 28
hari (KN Lengkap).
Adalah cakupan neonatus
yang mendapatkan pelayanan sesuai standar paling sedikit tiga kali dengan
distribusi waktu 1 kali pada 6 – 48 jam, 1 kali pada hari ke 3 – hari ke 7 dan
1 kali pada hari ke 8 – hari ke 28 setelah lahir disuatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu.
Dengan indikator ini
dapat diketahui efektifitas dan kualitas pelayanan kesehatan neonatal.
Rumus yang dipergunakan
adalah sebagai berikut :
Jumlah
neonatus yang telah memperoleh 3 kali pelayanan kunjungan neonatal
|
Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
7. Deteksi faktor risiko dan
komplikasi oleh Masyarakat
Adalah
cakupan ibu hamil dengan faktor risiko atau komplikasi yang ditemukan oleh kader atau dukun bayi
atau masyarakat serta dirujuk ke tenaga
kesehatan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Masyarakat disini,
bisa keluarga ataupun ibu hamil, bersalin, nifas itu sendiri.
Indikator
ini menggambarkan peran serta dan
keterlibatan masyarakat dalam mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu hamil,
bersalin dan nifas.
Rumus yang
dipergunakan :
Jumlah ibu hamil yang
berisiko yang ditemukan kader atau dukun bayi atau masyarakat
|
20%
x jumlah sasaran ibu hamil di suatu wilayah dalam 1 tahun
8. Cakupan Penanganan
komplikasi Obstetri (PK)
Adalah cakupan Ibu dengan komplikasi kebidanan di suatu wilayah
kerja pada kurun waktu tertentu yang ditangani secara definitif sesuai dengan
standar oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan
rujukan. Penanganan definitif adalah
penanganan/pemberian tindakan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan setiap
kasus komplikasi kebidanan.
Indikator ini mengukur
kemampuan manajemen program KIA dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan
secara professional kepada ibu hamil bersalin dan nifas dengan komplikasi.
Rumus yang dipergunakan
:
Jumlah
komplikasi kebidanan yang mendapatkan penanganan definitif di suatu
|
20% x jumlah sasaran ibu hamil di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
9. Cakupan Penanganan
komplikasi neonatus
Adalah cakupan neonatus dengan komplikasi yang ditangani secara
definitif oleh tenaga kesehatan kompeten pada tingkat pelayanan dasar dan
rujukan di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Penanganan definitif adalah pemberian
tindakan akhir pada setiap kasus komplikasi neonatus yang pelaporannya dihitung
1 kali pada masa neonatal. Kasus komplikasi yang ditangani adalah seluruh kasus
yang ditangani tanpa melihat hasilnya hidup atau mati.
Indikator ini menunjukkan kemampuan sarana pelayanan kesehatan dalam
menangani kasus – kasus kegawatdaruratan neonatal, yang kemudian
ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya, atau dapat dirujuk ke tingkat
pelayanan yang lebih tinggi.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut :
Jumlah
neonatus dengan komplikasi yang mendapat penanganan definitif di suatu
|
15 % x jumlah sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
10. Cakupan pelayanan kesehatan bayi 29 hari – 12 bulan (Kunjungan bayi)
Adalah cakupan bayi yang
mendapatkan pelayanan paripurna minimal 4 kali yaitu 1 kali pada umur 29 hari –
2 bulan, 1 kali pada umur 3 – 5 bulan, dan satu kali pada umur 6 – 8 bulan dan
1 kali pada umur 9 – 11 bulan sesuai standar di suatu wilayah kerja pada kurun
waktu tertentu.
Dengan indikator ini
dapat diketahui efektifitas, continuum of care dan kualitas pelayanan kesehatan
bayi.
Rumus yang dipergunakan
adalah sebagai berikut :
Jumlah
bayi yang telah memperoleh 4 kali pelayanan kesehatan sesuai standar
|
Jumlah seluruh sasaran bayi di suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
11. Cakupan pelayanan anak balita (12 – 59 bulan).
Adalah cakupan anak balita (12
– 59 bulan) yang memperoleh pelayanan sesuai
standar, meliputi pemantauan pertumbuhan minimal 8x setahun, pemantauan
perkembangan minimal 2 x setahun, pemberian vitamin A 2 x setahun
Rumus yang digunakan adalah :
Jumlah
anak balita yg memperoleh pelayanan sesuai standar disuatu wilayah kerja
|
12. Cakupan Pelayanan kesehatan anak
balita sakit yang dilayani dengan MTBS
Adalah
cakupan anak balita (umur 12 – 59 bulan) yang berobat ke Puskesmas dan
mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar (MTBS) di suatu wilayah kerja pada
kurun waktu tertentu.
Rumus
yang digunakan adalah :
|
Jumlah
anak balita sakit diperoleh dari kunjungan balita sakit yang datang ke
puskesmas (register rawat jalan di Puskesmas). Jumlah anak balita sakit yang
mendapat pelayanan standar diperoleh dari format pencatatan dan pelaporan
MTBS
13. Cakupan Peserta KB aktif (Contraceptive Prevalence Rate)
Adalah cakupan dari peserta KB yang baru dan lama yang masih aktif
menggunakan alat dan obat kontrasepsi (alokon) dibandingkan dengan jumlah
pasangan usia subur di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.
Indikator ini menunjukkan jumlah peserta KB baru dan lama yang masih
aktif memakai alokon terus-menerus hingga saat ini untuk menunda, menjarangkan
kehamilan atau yang mengakhiri kesuburan.
Rumus yang dipergunakan:
Jumlah peserta KB aktif di
suatu wilayah kerja pada
|
Jumlah seluruh PUS di
suatu wilayah kerja dalam 1 tahun
Bab IV
PENGUMPULAN, PENCATATAN DAN PENGOLAHAN DATA KIA
A. Pengumpulan
Data
Pengumpulan dan pengelolaan data
merupakan kegiatan pokok dari PWS KIA. Data yang dicatat per desa/kelurahan dan
kemudian dikumpulkan di tingkat puskesmas akan dilaporkan sesuai jenjang
administrasi. Data yang diperlukan dalam PWS KIA adalah Data Sasaran dan Data
Pelayanan. Proses
pengumpulan data sasaran sebagai berikut :
1. Jenis data
Data yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan PWS KIA adalah
Data sasaran :
- Jumlah seluruh ibu hamil
- Jumlah seluruh ibu bersalin
- Jumlah ibu nifas
- Jumlah seluruh bayi
- Jumlah seluruh anak balita
- Jumlah seluruh PUS
Data pelayanan :
- Jumlah K1
- Jumlah K4
- Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
- Jumlah ibu nifas yang dilayani 3 kali (KF 3) oleh tenaga kesehatan
- Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan pada umur 6 – 48 jam
- Jumlah neonatus yang mendapatkan pelayanan kesehatan lengkap (KN lengkap)
- Jumlah ibu hamil, bersalin dan nifas dengan factor risiko/komplikasi yang dideteksi oleh masyarakat
- Jumlah kasus komplikasi obstetri yang ditangani
- Jumlah neonatus dengan komplikasi yang ditangani
- Jumlah bayi 29 hari – 12 bulan yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 4 kali
- Jumlah anak balita (12 – 59 bulan) yang mendapatkan pelayanan kesehatan sedikitnya 8 kali
- Jumlah anak balita sakit yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar
- Jumlah peserta KB aktif
2.
Sumber data
Data sasaran berasal dari perkiraan jumlah sasaran (proyeksi) yang
dihitung berdasarkan rumus yang diuraikan dalam BAB III. Berdasarkan data
tersebut, Bidan di Desa bersama dukun bersalin/bayi dan kader melakukan
pendataan dan pencatatan sasaran di wilayah kerjanya.
Data pelayanan pada umumnya berasal dari :
- Register kohort ibu
- Register kohort bayi
- Register kohort anak balita
- Register kohort KB
B. Pencatatan Data
1.
Data Sasaran
Data sasaran diperoleh sejak saat Bidan memulai pekerjaan di
desa/kelurahan. Seorang Bidan di desa/kelurahan dibantu para kader dan dukun
bersalin/bayi, membuat peta wilayah kerjanya yang mencakup denah jalan, rumah serta
setiap waktu memperbaiki peta tersebut dengan data baru tentang adanya ibu yang
hamil, neonatus dan anak balita.
Data sasaran diperoleh bidan di desa/kelurahan dari para kader dan
dukun bayi yang melakukan pendataan ibu hamil, bersalin, nifas, bayi baru
lahir, bayi dan anak balita dimana sasaran tersebut diberikan buku KIA dan bagi
ibu hamil dipasang stiker P4K di depan rumahnya. Selain itu data sasaran juga
dapat diperoleh dengan mengumpulkan data sasaran yang berasal dari lintas
program dan fasilitas pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya.
Buku KIA
2. Data Pelayanan
Bidan di desa/kelurahan mencatat semua detail
pelayanan KIA di dalam kartu ibu, kohort Ibu, kartu bayi, kohort bayi, kohort
anak balita, kohort KB, dan buku KIA. Pencatatan harus dilakukan segera setelah
bidan melakukan pelayanan. Pencatatan tersebut diperlukan untuk memantau secara
intensif dan terus menerus kondisi dan permasalahan yang ditemukan pada para
ibu, bayi dan anak di desa/kelurahan tersebut, antara lain nama dan alamat ibu
yang tidak datang memeriksakan dirinya pada jadwal yang seharusnya, imunisasi
yang belum diterima para ibu, penimbangan anak dan lain lain.
Selain hal tersebut bidan di desa juga
mengumpulkan data pelayanan yang berasal dari lintas program dan fasilitas
pelayanan lain yang ada di wilayah kerjanya.
DIAGRAM ALUR PENCATATAN
PELAYANAN KIA OLEH BIDAN
C. Pengolahan Data
Setiap bulan Bidan di
desa mengolah data yang tercantum dalam buku kohort dan dijadikan sebagai bahan
laporan bulanan KIA. Bidan Koordinator di Puskesmas menerima laporan bulanan
tersebut dari semua BdD dan mengolahnya menjadi laporan dan informasi kemajuan
pelayanan KIA bulanan yang disebut PWS KIA. Informasi per desa/kelurahan dan
per kecamatan tersebut disajikan dalam bentuk grafik PWS KIA yang harus dibuat
oleh tiap Bidan Koordinator.
Langkah
pengolahan data adalah : Pembersihan
data, Validasi dan Pengelompokan.
1. Pembersihan data : melihat kelengkapan dan
kebenaran pengisian formulir yang tersedia.
2. Validasi : melihat kebenaran dan
ketepatan data.
3. Pengelompokan : sesuai dengan kebutuhan
data yang harus dilaporkan.
Contoh :
·
Pembersihan data : Melakukan koreksi terhadap laporan yang masuk
dari Bidan di desa/kelurahan mengenai duplikasi nama, duplikasi alamat, catatan
ibu langsung di K4 tanpa melewati K1.
·
Validasi : Mecocokkan apabila ternyata K4 & K1 lebih besar daripada jumlah
ibu hamil, jumlah ibu bersalin lebih besar daripada ibu hamil.
·
Pengelompokan : Mengelompokkan ibu hamil anemi berdasarkan desa/kelurahan untuk
persiapan intervensi, ibu hamil dengan KEK untuk persiapan intervensi.
Hasil pengolahan data dapat disajikan dalam
bentuk : Narasi, Tabulasi, Grafik dan Peta.
1.
Narasi : dipergunakan untuk menyusun laporan atau profil suatu wilayah kerja,
misalnya dalam Laporan PWS KIA yang diserahkan kepada instansi terkait.
2.
Tabulasi: dipergunakan untuk menjelaskan narasi dalam bentuk lampiran.
3.
Grafik: dipergunakan untuk presentasi dalam membandingkan keadaan antar
waktu, antar tempat dan pelayanan. Sebagian besar hasil PWS disajikan dalam
bentuk grafik.
4.
Peta: dipergunakan untuk menggambarkan kejadian berdasarkan gambaran
geografis.
Puskesmas yang sudah menggunakan komputer untuk mengolah data KIA
maka data dari kartu-kartu pelayanan bidan di desa/kelurahan, dimasukkan ke dalam komputer sehingga proses
pengolahan data oleh bidan di desa/kelurahan dan bidan koordinator Puskesmas akan
terbantu dan lebih cepat.
D. Pembuatan Grafik PWS KIA
PWS KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang
dipakai, yang juga menggambarkan pencapaian tiap desa/kelurahan dalam tiap
bulan.
Dengan demikian tiap
bulannya dibuat 13 grafik, yaitu :
1.
Grafik cakupan kunjungan antenatal ke-1 (K1).
2.
Grafik cakupan kunjungan antenatal ke-4 (K4).
3. Grafik cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan (Pn).
4.
Grafik cakupan kunjungan nifas (KF).
5. Grafik deteksi faktor
risiko/komplikasi oleh masyarakat.
6.
Grafik penanganan komplikasi obsetrik (PK).
7.
Grafik cakupan kunjungan neonatal pertama
(KN1).
8.
Grafik cakupan kunjungan neonatal lengkap
(KNL).
9.
Grafik penanganan komplikasi neonatal (NK).
10.
Grafik cakupan kunjungan bayi (KBy).
11.
Grafik cakupan pelayanan anak balita (KBal).
12.
Grafik cakupan pelayanan anak balita sakit
(BS).
13.
Grafik cakupan pelayanan KB (CPR).
Semuanya itu dipakai
untuk alat pemantauan program KIA, sedangkan grafik cakupan K4, PN, KF/KN, PK,
NK, KBy, KBal dan grafik cakupan pelayanan KB (CPR) seperti telah diuraikan
dalam Bab III, dapat dimanfaatkan juga untuk alat advokasi dan komunikasi
lintas sektor.
Di bawah ini dijabarkan
cara membuat grafik PWS KIA untuk tingkat puskesmas, yang dilakukan tiap bulan,
untuk semua desa/kelurahan. Bagi bidan di desa akan sangat penting apabila
dapat membuat grafik cakupan dari PWS KIA diatas di tingkat Poskesdes/Polindes
yang diupdate setiap bulannya. Sedangkan untuk puskesmas, penyajian ke 13
cakupan dalam bentuk grafik maupun angka akan sangat berguna untuk keperluan analisa
PWS lebih lanjut.
Langkah-langkah pokok dalam
pembuatan grafik PWS KIA :
1. Penyiapan data
Data yang diperlukan untuk membuat grafik dari tiap indikator
diperoleh dari catatan kartu ibu, buku KIA, register kohort ibu, kartu bayi,
kohort bayi serta kohort anak balita per desa/kelurahan, catatan posyandu,
laporan dari perawat/bidan/dokter praktik swasta, rumah sakit bersalin dan
sebagainya.
·
Untuk grafik antar wilayah, data yang diperlukan
adalah : Data cakupan per
desa/kelurahan dalam kurun waktu yang sama
Misalnya : untuk membuat grafik cakupan K4 bulan Juni di wilayah
kerja Puskesmas X, maka diperlukan data cakupan K4 desa/kelurahan A,
desa/kelurahan B, desa/kelurahan C, dst pada bulan Juni.
·
Untuk grafik antar waktu, data yang perlu disiapkan
adalah : Data cakupan per bulan
·
Untuk grafik antar variabel
diperlukan data variabel yang mempunyai korelasi misalnya : K1, K4 dan Pn
2. Penggambaran Grafik.
Langkah – langkah yang dilakukan dalam menggambarkan grafik PWS
KIA (dengan menggunakan contoh indikator cakupan K1) adalah sebagai berikut :
a. Menentukan target rata –
rata per bulan untuk menggambarkan skala pada garis vertikal (sumbu Y).
Misalnya : target cakupan ibu hamil baru (cakupan K1) dalam 1
tahun ditentukan 90 % (garis a), maka sasaran rata – rata setiap bulan adalah
|
12 bulan
Dengan demikian, maka sasaran pencapaian kumulatif sampai dengan bulan
Juni adalah (6 x 7,5 %) = 45,0% (garis b).
b. Hasil perhitungan
pencapaian kumulatif cakupan K1 per desa/kelurahan sampai dengan bulan Juni
dimasukkan ke dalam jalur % kumulatif secara berurutan sesuai peringkat.
Pencapaian tertinggi di sebelah kiri dan terendah di sebelah kanan, sedangkan
pencapaian untuk puskesmas dimasukkan ke dalam kolom terakhir (lihat contoh
grafik).
c. Nama desa/kelurahan bersangkutan
dituliskan pada lajur desa/kelurahan (sumbu X), sesuai dengan cakupan kumulatif
masing-masing desa/kelurahan yang dituliskan pada butir b diatas.
d. Hasil perhitungan
pencapaian pada bulan ini (Juni) dan bulan lalu (Mei) untuk tiap desa/kelurahan
dimasukkan ke dalam lajur masing-masing.
e.
Gambar anak panah dipergunakan untuk mengisi
lajur tren. Bila pencapaian cakupan bulan ini lebih besar dari bulan lalu, maka
digambar anak panah yang menunjuk ke atas. Sebaliknya, untuk cakupan bulan ini
yang lebih rendah dari cakupan bulan lalu, digambarkan anak panah yang
menunjukkan kebawah, sedangkan untuk cakupan yang tetap / sama gambarkan dengan
tanda (-).
Berikut ini adalah contoh grafik PWS KIA
hasil perhitungan tersebut di atas.
Contoh
Grafik PWS
Cara perhitungan untuk keduabelas indikator yang lainnya sama
dengan perhitungan seperti contoh diatas.
BAB V
ANALISIS, PENELUSURAN DATA
KOHORT DAN RENCANA TINDAK LANJUT
A.
Analisis
Analisis adalah suatu pemeriksaan dan evaluasi dari suatu
informasi yang sesuai dan relevant dalam menyeleksi suatu tindakan yang terbaik
dari berbagai macam alternatif variasi. Analisis yang dapat dilakukan mulai dari yang sederhana hingga
analisis lanjut sesuai dengan tingkatan
penggunaannya. Data yang di analisis adalah data register
kohort ibu, bayi dan anak balita serta cakupan.
a.
Analisis Sederhana
Analisis ini membandingkan cakupan hasil kegiatan antar wilayah
terhadap target dan kecenderungan dari waktu ke waktu. Analisis sederhana ini
bermanfaat untuk mengetahui desa/kelurahan mana yang paling memerlukan
perhatian dan tindak lanjut yang harus dilakukan.
Selain di Puskesmas, analisis ini dapat juga dilakukan oleh Bidan
di Desa dimana Bidan di Desa dapat menilai cakupan indikator PWS KIA di desanya
untuk menilai kemajuan desanya. Di Poskesdes seorang Bidan di Desa dapat
membuat grafik cakupan indikator PWS KIA sehingga dia bisa mengikuti
perkembangan dan menindaklanjutinya.
Contoh analisis sederhana
Analisis dari grafik
cakupan ibu hamil baru (akses) pada pemantauan bulan Juni 2008 dapat
digambarkan dalam matriks seperti dibawah ini.
Contoh Analisis Sederhana
Dari matriks diatas dapat disimpulkan adanya 4 macam status
cakupan desa/kelurahan, yaitu :
i. Status baik
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target yang
ditetapkanuntuk bulan Juni 2008, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang
meningkat atau tetap jika dibandingkan dengan cakupan bulan lalu.
Desa/kelurahan-desa/kelurahan ini adalah desa/kelurahan A dan
desa/kelurahan B. Jika keadaan tersebut berlanjut, maka desa/kelurahan-desa/kelurahan
tersebut akan mencapai atau melebihi target tahunan yang ditentukan.
ii.
Status kurang
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan diatas target bulan Juni
2008, namun mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun jika dibandingkan
dengan cakupan bulan lalu. Desa/kelurahan dalam kategori ini adalah
desa/kelurahan C, yang perlu mendapatkan perhatian karena cakupan bulan lalu
ini hanya 5% (lebih kecil dari cakupan bulan minimal 7,5%). Jika cakupan terus
menurun, maka desa/kelurahan tersebut tidak akan mencapai target tahunan yang
ditentukan.
iii.
Status cukup
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan Juni
2008, namun mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat jika dibandingkan
dengan cakupan bulan lalu. Desa/kelurahan dalam kategori ini adalah
desa/kelurahan D, yang perlu didorong agar cakupan bulanan selanjutnya tidak
lebih daripada cakupan bulanan minimal 7,5%. Jika keadaan tersebut dapat
terlaksana , maka desa/kelurahan ini kemungkinan besar akan mencapai target
tahunan yang ditentukan.
iv.
Status jelek
Adalah desa/kelurahan dengan cakupan dibawah target bulan Juni
2008, dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun dibandingkan
dengan bulan lalu. Desa/kelurahan dalam kategori ini adalah desa/kelurahan E,
yang perlu diprioritaskan untuk pembinaan agar cakupan bulanan selanjutnya
dapat ditingkatkan diatas cakupan bulanan minimal agar dapat mengejar
kekurangan target sampai bulan Juni, sehingga dapat pula mencapai target
tahunan yang ditentukan.
b.
Analisis
Lanjut (Tabulasi Silang/Cross Tabulation)
Analisis ini dilakukan
dengan cara membandingkan variabel tertentu dengan variabel terkait lainnya
untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel yang dimaksud.
Contoh
:
a.
K1 dibandingkan dengan K4
b.
K1 dibandingkan dengan Pn
c. Pn dibandingkan dengan KF dan KN
d.
Jumlah Ibu Hamil Anemia dibandingkan
dengan K1 dan K4
e.
KN1 dibandingkan dengan Jumlah Hep B
Uniject
f.
Dll
Contoh :
Apabila Drop Out (DO) K1 - K4 lebih dari 10%
berarti wilayah tersebut bermasalah dan perlu penelusuran dan intervensi lebih
lanjut. Drop Out tersebut dapat disebabkan karena ibu yang kontak pertama (K1) dengan
tenaga kesehatan, kehamilannya sudah berumur lebih dari 3 bulan. Sehingga
diperlukan intervensi peningkatan pendataan ibu hamil yang lebih intensif.
B.
Penelusuran Data Kohort
Penelusuran adalah proses pengamatan seseorang atau obyek yang
bergerak dalam kurun waktu dari lokasi tertentu. Penelusuran dilakukan dalam
rangka :
1. Mengidentifikasi kasus/masalah
secara individu selama masa hamil, bersalin, masa nifas, neonatus, bayi dan
balita. Masalah yang ditelusuri :
·
Perkembangan kesehatan setiap ibu hamil, bersalin, nifas,
neonatus, bayi dan anak balita
·
Kesiapan perencanaan persalinan dan
pencegahan komplikasi setiap ibu hamil
·
Faktor risiko dan komplikasi ibu hamil,
bersalin, nifas, neonatus, bayi baru lahir dan anak balita
·
Menilai kualitas pelayanan yang diberikan
·
Kematian ibu dan bayi
2. Membangun perencanaan berdasarkan
masalah yang spesifik
Seorang bidan harus
mencatat setiap ibu hamil yang ada di desanya. Sehingga setiap bulan dia dapat
melakukan analisis dan penelusuran data kohort terhadap ibu hamil di desanya. Analisis
dan penelusuran data kohort yang dapat dilakukan oleh bidan untuk meningkatkan
kinerja bidan, contohnya :
1. Dari data kohort ditemukan
:
a.
Ibu T, 19 tahun, punya jamkesmas, hamil anak pertama, HPHT tanggal
21 Februari 2008, taksiran partus tanggal 7 September 2008, rencana persalinan
oleh bidan, tempat persalinan di rumah, pendamping persalinan suami, transportasi
dari suami, donor darah dari suami, datang ANC pertama kali tanggal 25 April
2008 pada usia 9 minggu, dengan hasil pemeriksaan BB 37 kg, Tekanan Darah 90/60
dan LILA 22 cm dan anemia. Hasil pemeriksaan dicatat dalam buku KIA. Tanggal 15
April 2008 keguguran ditolong oleh dukun.
b.
Ibu Tar, 39 tahun, termasuk masyarakat miskin, tidak punya
jamkesmas, hamil anak ke 6, pernah melahirkan 5 anak dan semuanya hidup. Rencana
persalinan oleh bidan, tempat persalinan di rumah, pendamping persalinan suami,
sudah memiliki transportasi dan calon donor darah. Datang ANC pertama kali
tanggal 4 Julil 2008 pada usia 22 minggu, dengan hasil pemeriksaan BB 45 kg,
LILA 23 cm, Tekanan Darah 130/80, TFU 20 cm, taksiran beran janin 1240, denyut
jantung janin 140, status imunisasi T1, anemia, dilakukan injeksi TT. Hasil
pemeriksaan dicatat dalam buku KIA.
Analisis dari 2 contoh data dari kohort di atas adalah sebagai
berikut :
Contoh
Kasus
|
Masalah
|
Rencana
Tindak Lanjut
|
Ibu T, umur 19
thn, G1, HPHT 1/2/08, mempunyai P4K, rencana tempat persalinan di rumah,
periksa ANC 1 pd mg ke 9 BB 37 kg, TD 90/60, Anemia, LILA 22
Tanggal
15/4/08 keguguran, ditolong dukun di rumah
|
• G1A1, usia terlalu muda
•
Rencana
persalinan di rumah
•
Status
gizi kurang
•
Anemia
•
Abortus
ditolong dukun
|
• Kunjungan rumah segera
• Perbaiki status gizi (berikan PMT dan konseling gizi, libatkan
masyarakat untuk mendukung)
• Atasi anemia (berikan tab Fe)
• Konseling tunda kehamilan (libatkan
suami) sampai usia > 20 tahun dan
status gizi nya baik
|
Ibu Tar, masyarakat
miskin, tidak punya jamkesmas, 39 tahun, G6 P5 H5, P4K lengkap, rencana
tempat persalinan di rumah, ANC 1 pada usia kehamilan 22 mg, LILA 23, Anemia.
|
• Terlalu tua, terlalu banyak
• Tempat persalinan di rumah
• ANC 1 trimester 2
• Status gizi kurang
• Anemia
• Belum punya KTM/Jamkesmas
|
•
Pantau
kehamilan dengan ANC teratur (tiap bulan)
•
Perbaiki
status Gizi (PMT, konsul gizi, libatkan masyarakat untuk mendukung)
•
Berikan
tablet Fe
•
Pastikan
mendapatkan Jamkesmas
•
Rencanakan
persalinan di RS (untuk melakukan kontap dan persiapan komplikasi)
•
Konseling
KB kontap (libatkan suami)
|
- Contoh analisis cakupan pelayanan dari data kohort :
Jumlah bumil sampai bulan Juni
|
K1
|
K4
|
Taksiran persalinan
|
Pn
|
24
|
23
|
6
|
2
|
5
|
Bentuk pertanyaan sederhana untuk bidan
menganalisa
|
Siapa ibu yang tidak K1?
|
Dari ibu yang K1 siapa ibu yang
tidak K4?
|
Siapa ibu yang akan melahirkan bulan ini?
|
Dari ibu yang K4 siapa yang ibu yang
tidak Pn
|
Analisis seperti ini dinamakan
analisis penelusuran per individu yang dapat membantu Bidan meningkatkan kinerja
dan apa yang harus dilakukan untuk bulan depan terutama untuk meningkatkan
cakupan Persalinan oleh tenaga kesehatan (Pn).
C.
Rencana Tindak Lanjut
Bagi kepentingan program, analisis PWS KIA ditujukan untuk
menghasilkan suatu keputusan tindak lanjut teknis dan non-teknis bagi
puskesmas. Keputusan tersebut harus dijabarkan dalam bentuk rencana operasional
jangka pendek untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan
spesifikasi daerah.
1.
Rencana tindak lanjut tingkat bidan di desa
Setelah menganalisa data yang didapatkan di
wilayah kerjanya, setiap bulan bidan di desa membuat perencanaan berdasarkan
hasil analisanya masing-masing yang akan didiskusikan pada acara minilokakarya
tiap bulan. Rencana
tersebut termasuk juga rencana logistic.
Jumlah bumil
sampai bulan Juni
|
K1
|
K4
|
Taksiran
persalinan
|
Pn
|
24
|
23
|
6
|
2
|
5
|
Rencana Bulan Juli
|
Bekerja sama dengan kader dan dukun bayi untuk
mencari ibu hamil baru dan sisa ibu hamil bulan lalu yang belum di periksa
secara lengkap
|
Memastikan ibu K1 yang seharusnya sudah memasuki
K4 agar melakukan pemeriksaan K4 dan untuk persiapan lebih lanjut ke
persalinan yang aman
|
Mempersiapkan diri untuk menolong persalinan
yang akan terjadi pada bulan Juli dan sekaligus mempersiapkan obat obatan
untuk persiapan persalinan dan kegawat daruratan
|
Mengkaji dan menindaklanjuti keadaan dari satu
ibu yang K4 tetapi tidak Pn, memastikan agar tidak terjadi lagi pertolongan
yang tidak ditolong oleh tenaga kesehatan
|
Contoh
Rencana Tindak Lanjut Bagi Bidan Desa
2.
Kepala Puskesmas
dan bidan koordinator harus mampu melihat masalah dan membuat perencanaan
tindak lanjut berdasarkan masalah yang ada. Tabel di bawah adalah contoh
intervensi yang dilakukan Puskesmas yang didiskusikan pada saat pertemuan
bulanan dengan bidan di desa dengan melihat jumlah cakupan di desa.
No
|
Nama desa
|
Angka Absolut PKM
|
Cakupan Puskesmas
|
RENCANA INTERVENSI
|
||||||
# Pddk
|
Bumil
|
Bulin
|
Neonatus
|
Cakupan (%)
|
||||||
K1
|
K4
|
Pn
|
KN1
|
|||||||
1
|
A
|
441
|
12
|
11
|
11
|
108
|
83
|
-
|
36
|
·
Perbaikan sistem pencatatan dan
pelaporan PWS-KIA (validasi data).
·
Mengusahakan agar setiap persalinan
dibawa ke Puskesmas/Poskesdes
· Kunjungan oleh bidan/dokter pada setiap bufas
dan neonatus
· Memberikan hadiah pada bumil yang bersalin di
tenaga kesehatan
· Berkoordinasi dengan tokoh masyarakat agar tiap
persalinan ditolong nakes
|
2
|
B
|
357
|
10
|
9
|
9
|
80
|
60
|
11
|
11
|
· Mengusahakan bumil sedini mungkin datang ke tenaga
kesehatan
·
Mengusahakan agar setiap persalinan dibawa ke
Puskesmas/Poskesdes
·
Kunjungan rumah oleh bidan/dokter pada setiap
bumil, bufas dan neonatus
·
Memberikan hadiah pada bumil yang bersalin di
tenaga kesehatan
·
Berkoordinasi dengan tokoh masyarakat agar tiap
persalinan ditolong nakes
|
3
|
C
|
427
|
12
|
11
|
11
|
117
|
67
|
182
|
136
|
·
Bumil dan bulin di luar wilayah yang mendapatkan
pelayanan di fasilitas kesehatan tersebut tetap dilaporkan ke dinas kesehatan
Kabupaten/Kota.
·
Kunjungan oleh tenaga kesehatan pada
Bumil
·
Berkoordinasi dengan tokoh masyarakat
dan kader agar bumil periksa ke nakes secara teratur
|
4
|
D
|
443
|
12
|
12
|
11
|
133
|
33
|
-
|
27
|
·
Perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan PWS-KIA
(validasi data).
·
Bumil dan bulin di luar wilayah yang mendapatkan
pelayanan di fasilitas kesehatan tersebut tetap dilaporkan ke dinas kesehatan
Kabupaten/Kota.
·
Mengusahakan agar setiap persalinan dibawa ke
Puskesmas/Poskesdes
· Kunjungan oleh bidan/dokter pada setiap bufas dan
neonatus
· Memberikan hadiah pada bumil yang bersalin di
tenaga kesehatan
· Berkoordinasi dengan tokoh masyarakat dan kader agar
setiap bumil periksa teratur dan bersalin oleh nakes
|
TABEL RENCANA TINDAK LANJUT TINGKAT PUSKESMAS
Rencana operasional tersebut
perlu dibicarakan dengan semua pihak yang terkait :
1. Bagi desa/kelurahan yang berstatus baik atau cukup,
pola penyelenggaraan pelayanan KIA perlu dilanjutkan, dengan beberapa
penyesuaian tertentu sesuai kebutuhan antara lain perbaikan mutu pelayanan.
2. Bagi desa/kelurahan berstatus kurang dan terutama
yang berstatus jelek, perlu prioritas intervensi sesuai dengan permasalahan.
3. Intervensi yang bersifat teknis (termasuk segi
penyediaan logistik) harus dibicarakan dalam pertemuan minilokakarya puskesmas
dan/atau rapat dinas kesehatan kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan dari
kabupaten/kota).
4. Intervensi yang bersifat non-teknis (untuk
motivasi, penggerakan sasaran, dan mobilisasi sumber daya di masyarakat) harus
dibicarakan pada rapat koordinasi kecamatan dan/atau rapat dinas kesehatan
kabupaten/kota (untuk mendapat bantuan dari kabupaten/kota).
Diagram
di bawah menunjukkan alur pengolahan, analisis dan pemanfaatan PWS KIA.
Alur Pengolahan, Analisis dan Pemanfaatan PWS KIA
Alur pengolahan data,
analisis dan pemanfaatan data PWS KIA di tingkat Puskesmas
Umpan
Balik :
Umpan Balik dari Puskesmas : 1 bulan sekali
Umpan Balik dari Kabupaten/Kota : 1 bulan sekali
Umpan Balik dari Propinsi : 3 - 6 bulan sekali
Umpan Balik dari Pusat : 6 - 12 bulan sekali
Umpan Balik dari Kabupaten/Kota : 1 bulan sekali
Umpan Balik dari Propinsi : 3 - 6 bulan sekali
Umpan Balik dari Pusat : 6 - 12 bulan sekali
BAB V
PELEMBAGAAN PWS KIA
Pelembagaan PWS KIA
adalah pemanfaatan PWS KIA secara teratur dan terus menerus pada semua siklus
pengambilan keputusan untuk memantau penyelenggaraan program KIA, di semua
tingkatan administrasi pemerintah, baik yang bersifat teknis program maupun
yang bersifat koordinatif nonteknis dan lintas sektoral.
Pada akhirnya
pemanfaatan PWS KIA harus merupakan bagian integral dari manajemen operasional
program KIA sehari-hari. Dalam suatu pertemuan di Jakarta pada tahun
1989, Bapak Menteri Kesehatan menyatakan :
“Dari pengamatan saya selama ini, PWS sangat
sesuai dengan kebutuhan kita sebagai alat pemantau sederhana bagi program imunisasi.
Konsep tersebut dapat juga diterapkan untuk program-program lain. Maka saya
instruksikan kepada semua Kepala Dinas Kesehatan untuk melembagakan pemakaian
PWS tersebut, dalam penyelenggaraan program-program.
Disamping itu, telah
diterbitkan pula surat edaran Menteri Dalam Negeri No. 44 0/13 00/PUOD
tanggal 10 April 1990, kepada semua Gubernur KDH dan semua
Bupati/Walikotamadya seluruh Indonesia untuk mendukung pelaksanaan PWS.
Dalam surat tersebut dilampirkan pula Diagram PWS seperti dibawah ini :
Sesuai PP No. 34 th 2004
tentang Otonomi Daerah diharapkan pelembagaan PWS KIA dilakukan mulai tingkat
desa, kabupaten/kota sehingga PWS KIA dapat dijadikan bahan masukan musrenbang
desa dan kabupaten/kota.
A.
Langkah – langkah
dalam pelembagaan PWS KIA
Dalam upaya pelembagaan
PWS KIA dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Penunjukkan petugas
pengolahan data di tiap tingkatan, untuk menjaga kelancaran pengumpulan data.
•
Data hasil kegiatan dikumpulkan oleh puskesmas ditabulasikan kemudian
dikirimkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota.
•
Di puskesmas disusun PWS KIA tingkat puskesmas (per
desa/kelurahan) dan di dinas kesehatan kabupaten/kota disusun PWS KIA tingkat
kabupaten/kota (per puskesmas).
2. Pemanfaatan pertemuan
lintas program
Penyajian PWS KIA pada pertemuan teknis bulanan ditingkat
puskesmas (mini lokakarya) dan kabupaten/kota (pertemuan bulanan dinas
kesehatan kabupaten/kota), untuk menginformasikan hasil yang telah dicapai, identifikasi
masalah, merencanakan perbaikan serta menyusun rencana operasional periode
berikutnya. Pada pertemuan tersebut wilayah yang berhasil diminta untuk
mempresentasikan upayanya.
3.
Pemantauan PWS KIA untuk meyakinkan lintas
sektoral
PWS disajikan serta didiskusikan pada
pertemuan lintas sektoral ditingkat kecamatan dan kabupaten / kota, untuk
mendapatkan dukungan dalam pemecahan masalah dan agar masalah operasional yang
dihadapi dapat dipahami bersama, terutama yang berkaitan dengan motivasi dan penggerakan
masyarakat sasaran.
4.
Pemanfaatan PWS KIA sebagai bahan Musrenbang
desa dan kabupaten/kota
Musrenbang adalah suatu proses perencanaan di
tingkat desa dan kabupaten/kota. Bidan di desa dapat memberikan masukan
berdasarkan hasil PWS KIA kepada tim musrenbang.
B. Pemanfaatan
Indikator Pemantauan
Dalam upaya melibatkan
lintas sektor terkait, khususnya para aparat setempat, dipergunakan indikator
indikator yang terpilih untuk menggambarkan wilayahnya yaitu :
1. Cakupan K4, yang menggambarkan kualitas pelayanan KIA
2.
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (PN), yang menggambarkan
tingkat keamanan persalinan.
3.
Cakupan penanganan komplikasi kebidanan.
4.
Cakupan kunjungan nifas/neonatus.
5.
Cakupan penanganan komplikasi neonatus.
6.
Cakupan kunjungan bayi.
7.
Cakupan kunjungan balita.
8.
Cakupan pelayanan KB aktif.
Penyajian indikator–indikator tersebut kepada lintas sektor
ditujukan sebagai alat advokasi, informasi dan komunikasi dalam menyampaikan
kemajuan maupun permasalahan operasional program KIA, sehingga para aparat
dapat memahami program KIA dan memberikan bantuan sesuai kebutuhan.
Indikator pemantauan ini dapat dipergunakan dalam berbagai
pertemuan lintas sektor di semua tingkat administrasi pemerintah secara berkala
dan disajikan setiap bulan, untuk melihat kemajuan suatu wilayah. Bagi wilayah
yang cakupannya masih rendah diharapkan lintas sektor dapat menindak lanjuti
sesuai kebutuhan dengan menggerakkan masyarakat dan menggali sumber daya
setempat yang diperlukan.
C.
Pembinaan melalui supervisi
Supervisi yang terarah dan berkelanjutan merupakan sistem
pembinaan yang efektif bagi pelembagaan PWS. Dalam pelaksanaannya supervisi
dilaksanakan dengan pengisian checklist yang akan digunakan dalam supervisi
ditingkat puskesmas dan kabupaten, untuk kemudian dianalisis dan
ditindaklanjuti.
BAB VII
PELAKSANAAN DAN PELAPORAN PWS KIA
A.
Pelaksanaan PWS KIA
Proses yang perlu dilakukan dalam penerapan PWS KIA dimulai dengan
langkah-langkah sosialisasi, fasilitasi dan evaluasi yang diikuti dengan tindak
lanjut sesuai kebutuhan.
1. Pelaksanaan PWS KIA di Tingkat Propinsi
Langkah – langkah atau urutan yang dilaksanakan meliputi :
a. Pertemuan orientasi :
Pertemuan ini merupakan pertemuan dengan
tujuan :
·
Menyamakan persepsi mengenai PWS KIA
·
Menentukan
kebijaksanaan propinsi dalam pelaksanaan PWS KIA
·
Merencanakan
Fasilitasi tingkat kabupaten/kota dan puskesmas
·
Menyusun mekanisme pemantauan kegiatan,
dll
Pihak yang terlibat meliputi :
·
Subdinas/Bidang yang menangani KIA dari
Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota.
·
Subdinas/Bidang yang menangani
Puskesmas dan RS dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota.
·
Subdinas/Bidang yang menangani
Pengendalian Penyakit dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Selain itu, pertemuan juga dapat melibatkan
RSU. Hal ini penting karena PWS KIA mempunyai pendekatan wilayah. Dengan demikian semua
pelayanan KIA dari fasilitas pelayanan di luar puskesmas pun perlu dilibatkan
agar dapat diketahui cakupan pelayanan KIA oleh tenaga kesehatan.
b. Pertemuan Sosialisasi :
Fokus pertemuan ini adalah untuk lintas sektor di tingkat Propinsi,
dengan tujuan untuk sosialisasi
tentang PWS KIA, menyepakati peran lintas sektor dalam PWS KIA dan menyusun mekanisme
pemantauan kegiatan.
Pihak yang terlibat meliputi :
·
Dinas Kesehatan
·
BAPPEDA
·
Biro Pembangunan Masyarakat Desa
·
Biro PP dan KB
c. Fasilitasi :
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bantuan teknis berupa
kunjungan ke lapangan atau pertemuan di kabupaten/kota dan puskesmas. Petugas provinsi
dibekali untuk dapat memfasilitasi petugas kabupaten/kota dan puskesmas. Peserta
terdiri dari unsur-unsur lain dari dinas kesehatan kabupaten/kota seperti :
Gizi, Imunisasi, Yankes, Yanfar, P2PL, dll.
Setiap kali fasilitasi, sebaiknya peserta sekitar 30 orang.
Materi fasilitasi :
o
Pedoman PWS KIA
o
Kebijaksanaan Program KIA
o
Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar
o
Perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan
d. Evaluasi /Tindak lanjut :
Kegiatan ini bertujuan untuk menilai kemajuan cakupan
program KIA dan merencanakan kegiatan tindak lanjut.
2. Pelaksanaan PWS KIA Di Tingkat Kabupaten
Langkah – langkah atau urutan yang dilaksanakan meliputi :
a. Pertemuan orientasi :
Pertemuan ini merupakan pertemuan dengan
tujuan :
·
Menyamakan persepsi mengenai PWS KIA
·
Menentukan
kebijaksanaan propinsi dalam pelaksanaan PWS KIA
·
Merencanakan
Fasilitasi tingkat kabupaten/kota dan puskesmas
·
Menyusun mekanisme pemantauan kegiatan,
dll
Pihak yang terlibat meliputi :
·
Subdinas/Bidang yang menangani KIA dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
·
Subdinas/Bidang yang menangani
Puskesmas dan RS dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
·
Subdinas/Bidang yang menangani
Pengendalian Penyakit dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
·
Kepala Puskesmas dan Bidan Koordinator
Selain itu, pertemuan juga dapat melibatkan
RSU dan Unit Pelayanan Kesehatan Swasta. Hal ini penting karena PWS KIA mempunyai pendekatan
wilayah. Dengan demikian semua pelayanan KIA dari fasilitas pelayanan di luar
puskesmas pun perlu dilibatkan agar dapat diketahui cakupan pelayanan KIA oleh
tenaga kesehatan.
b. Pertemuan Sosialisasi :
Fokus pertemuan ini adalah untuk lintas sektor tingkat
kabupaten/kota, dengan tujuan untuk sosialisasi
tentang PWS KIA, menyepakati peran lintas sektor dalam PWS KIA dan menyusun mekanisme
pemantauan kegiatan.
Pihak yang terlibat meliputi :
·
Dinas Kesehatan
·
BAPPEDA
·
Biro Pembangunan Masyarakat Desa
·
Biro PP dan KB
c. Fasilitasi :
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bantuan teknis berupa
kunjungan ke lapangan atau pertemuan di puskesmas. Petugas
kabupaten/kota dibekali untuk dapat memfasilitasi petugas puskesmas.
Materi fasilitasi :
o
Pedoman PWS KIA
o
Kebijaksanaan Program KIA
o
Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar
o
Perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kegiatan
d. Evaluasi /Tindak lanjut :
Kegiatan ini bertujuan untuk menilai kemajuan cakupan
program KIA dan merencanakan kegiatan tindak lanjut.
3.
Pelaksanaan
PWS KIA di Tingkat Puskesmas
Langkah – langkah atau urutan yang dilaksanakan meliputi :
a. Pertemuan reorientasi
Pertemuan ini merupakan pertemuan dengan
tujuan :
·
Menyamakan persepsi mengenai PWS KIA
·
Sosialisasi
kebijaksanaan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan PWS KIA
·
Merencanakan Fasilitasi ke Desa
·
Menyusun mekanisme pemantauan kegiatan,
dll
Pihak yang terlibat meliputi :
·
Bidan
di Desa
·
Bidan Koordinator
·
Pengelola Program KIA
·
Kepala Puskesmas
·
Petugas Gizi
·
P2PL
·
Data Operator
·
Farmasi
b. Pertemuan Sosialisasi
Fokus pertemuan ini adalah untuk lintas sektor tingkat kecamatan
dan desa, dengan tujuan untuk sosialisasi
tentang PWS KIA, menyepakati peran lintas sektor dalam PWS KIA dan menyusun mekanisme
pemantauan kegiatan.
Pihak yang terlibat meliputi :
·
Puskesmas
·
Camat
·
Kepala Desa
·
Dewan Kelurahan
·
LKMD
·
PKK
·
Koramil
·
Polsek
c. Memfasilitasi Bidan di
Desa :
Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan bantuan teknis berupa
kunjungan ke lapangan atau pertemuan di Desa. Petugas
Puskesmas memfasilitasi Bidan di Desa dan lintas sector terkait.
Materi fasilitasi :
o
Pedoman PWS KIA
o
Pedoman Pelayanan Kebidanan Dasar
o
Kebijaksanaan Program KIA
o
Perencanaan pelaksanaan dan pemantauan kegiatan
d. Implementasi PWS KIA
Puskesmas.
Puskesmas melaksanakan kegiatan PWS KIA
melalui pengumpulan, pengolahan, analisis, penelusuran dan pemanfaatan data PWS
KIA sesuai dengan yang diterangkan pada pembahasan sebelumnya. Termasuk dalam
implementasi PWS KIA di Puskesmas adalah pemanfaatan PWS KIA dalam Lokakarya Mini, Pertemuan
Bulanan Kecamatan dan Musrenbangcam.
e. Tindak lanjut :
Kegiatan ini bertujuan untuk
menindaklanjuti hasil – hasil pembahasan implementasi PWS KIA di tingkat
puskesmas .
4. Pelaksanaan PWS KIA di Tingkat Desa
Langkah – langkah urutan pelaksanaan meliputi
:
a. Implementasi PWS KIA oleh Bidan di Desa
Bidan Di Desa
melaksanakan kegiatan PWS KIA melalui pengumpulan, pengolahan, analisis,
penelusuran dan pemanfaatan data PWS KIA sesuai dengan yang diterangkan pada
pembahasan sebelumnya. Termasuk dalam implementasi PWS KIA di Tingkat Desa
adalah pemanfaatan PWS KIA untuk dibahas dalam Lokakarya
Mini Puskesmas, Pertemuan Bulanan Desa dan Musrenbangdes.
b. Tindak lanjut :
Kegiatan ini bertujuan untuk
menindaklanjuti hasil – hasil pembahasan implementasi PWS KIA di tingkat
puskesmas dan desa.
Alur
Data Registrasi Ibu Hamil oleh Bidan di Desa
B. Pemantauan dan
Pelaporan
Pemantauan kegiatan PWS KIA dapat dilakukan melalui laporan
kegiatan PWS KIA bulanan dengan melihat kelengkapan data PWS KIA berikut dengan
:
1.
Hasil Analisis indikator PWS KIA, antara lain : grafik hasil
cakupan, hasil penelusuran dll
2.
Rencana tindak lanjut berupa jadwal rencana kegiatan
Data PWS KIA yang dilaporkan dimasing –
masing tingkatan adalah :
1. Di tingkat Desa untuk
dilaporkan ke Puskesmas setiap bulan :
·
Register KIA
·
Rekapitulasi Kohort KB
2. Di tingkat puskesmas untuk
dilaporkan ke Dinas Kesehatan kabupaten/kota setiap bulan :
·
LB 3 KIA
·
LB 3 Gizi
·
LB 3 Imunisasi
·
Rekapitulasi Kohort KB
3.
Di tingkat kabupaten/propinsi untuk
dilaporkan ke Dinas Kesehatan Propinsi/Departemen Kesehatan setiap 3 bulan :
- Lampiran 1 berisi laporan pelayanan antenatal care
- Lampiran 2 berisi laporan pelayanan persalinan dan nifas
- Lampiran 3 berisi laporan sarana pelayanan kesehatan dasar
- Lampiran 4 berisi laporan kematian ibu dan neonatal
- Lampiran 5 berisi laporan sarana pelayanan kesehatan rujukan
- Lampiran 6 berisi laporan pelayanan Antenatal yang terintegrasi dengan program lain seperti PMTCT pada Ibu penderita HIV/AIDS dan malaria dalam kehamilan
- Lampiran 7 berisi laporan Keluarga Berencana
- Lampiran 8 berisi laporan diagnosa dan tindakan pasien terhadap perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.
Untuk mempermudah mendapatkan laporan dari tingkat bidan di
desa, Puskesmas, kabupaten, maupun propinsi, kini proses pencatatan, pengolahan
dan pelaporan dapat dilakukan secara komputerisasi yang prosesnya dimulai dari
tingkat bidan di desa. Proses komputerisasi ini merupakan proses pengisian kartu
ibu dan kartu bayi secara langsung dari lapangan yang dilakukan oleh bidan di desa
dan diserahkan kepada data operator di tingkat puskesmas.
Setelah data masuk di tingkat Puskesmas dan di olah secara
komputerisasi, Bidan di desa, Bidan koordinator dan kepala Puskesmas dapat
dengan mudah dan langsung melihat data secara cepat setiap bulan dan
menggunakan data tersebut untuk meningkatkan kualitas program KIA.
Laporan yang keluar dari tingkat puskesmas akan diproses
sedemikian rupa pula untuk dapat menjadi konsumsi di tingkat kabupaten,
propinsi dan pusat. Secara lengkap proses operasional sistim komputerisasi dari
PWS KIA ini dapat dilihat pada modul operasional komputerisasi PWS KIA yang ada
di dalam Software PWS KIA.
ANGKA
KELAHIRAN KASAR (CBR)
MENURUT
PROPINSI
Propinsi
|
2010
|
2015
|
NAD
|
19.8
|
19.8
|
Sumatra Utara
|
19.6
|
19.6
|
Sumatra Barat
|
20.3
|
20.3
|
Riau
|
21.7
|
21.7
|
Jambi
|
19.2
|
19.2
|
Sumatra Selatan
|
19
|
19
|
Bengkulu
|
18.8
|
18.8
|
Lampung
|
18.2
|
18.2
|
Kep. Bangka Belitung
|
18
|
18
|
DKI Jakarta
|
19.2
|
19.2
|
Jawa barat
|
18
|
18
|
Jawa tengah
|
16.8
|
16.8
|
DI Jogjakarta
|
11.9
|
11.9
|
Jawa Timur
|
||
Banten
|
20.5
|
20.5
|
Bali
|
14.4
|
14.4
|
Nusa Tenggara Barat
|
||
Nusa tenggara Timur
|
19.8
|
19.8
|
Kalimantan Barat
|
19.7
|
19.7
|
Kalimantan Tengah
|
16.8
|
16.8
|
Kalimantan Selatan
|
18.3
|
18.3
|
Sulawesi Utara
|
14.8
|
14.8
|
Sulawesi tengah
|
18.7
|
18.7
|
Sulawesi Selatan
|
18.2
|
18.2
|
Sulawesi tenggara
|
17.5
|
17.5
|
Gorontalo
|
18.2
|
18.2
|
Maluku
|
21.5
|
21.5
|
Maluku Utara
|
22.2
|
22.2
|
Papua
|
20.1
|
20.1
|
Indonesia
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar